Hai teman-teman, namaku Raisa, aku sangat beruntung lahir dari seorang Ibu yang super duper kuat dan sabar. Beliau tak pernah sedkitpun mengeluh, beliau juga tak pernah marah kepada anak-anaknya. Beliau memiliki 5 orang anak, salah satu dari anaknya adalah aku, yaitu si bungsu.
Ibuku selalu melahirkan anak-anaknya dengan normal semua. Anak-anaknya pun juga bagus-bagus fisik dan sifatnya. Mungkin ini yang dijuluki buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ya walaupum terkadang ada sikap anakanya yang sedikit ngeselin sih.
Sejak aku masih berada di taman kanak-kanak, aku sudah diajari untuk mandiri. Aku tak pernah diantar ibuku ke sekolah. Sempat aku bertanya “kenapa sih teman-temanku pada diantar orang tuanya ke sekolah?” Dan saat itu aku sadar, ternyata didikan dari Ibuku sangat bermanfaat di masa yang akan datang. Dari aku yang selalu berangkat sekolah sendirian, aku menemukan manfaatnya yaitu aku selalu bangun pagi dan tak pernah terlambat datang ke sekolah, aku juga bisa bebas bermain dengan teman-teman namun aku juga harus memiliki kesadaran ada batasan waktu untuk bermain. Namun aku juga sangat bersyukur, ibuku selalu datang diacara perpisahan anak-anaknya, meskipun harus meninggalkan pekerjaannya dalam sehari.
Setelah umurku bertambah, saat itu aku menginjak masa remaja, tepatnya SMP, ibuku selalu mendukung pilihanku, mau neruskan sekolah dimana beliau tetap mendukungku. Alhamdulillah karena doa Ibu aku bisa diterima di SMP favorit. Ibuku juga tak pernah mengantarkan aku untuk daftar sekolah, beliau hanya mengasih nasihat dan doa untuk diriku. Aku diajari banyak hal oleh ibu, salah satunya saat pertama kali naik bus sendirian ketika berangkat sekolah. Dari situ kemandirianku mulai bertambah. Ada alasan kenapa aku selalu diajarkan untuk mandiri. Disisi lain saat aku di lingkungan rumah, aku begitu manjanya dengan ibu. Terkadang makan aja aku minta disuapin, namun ibuku menegurku. "Lihat umurmu, Nak!" Aku sadar dan aku hanya ketawa. Terkadang aku juga baru sadar, berapa banyak uang yang dikeluarkan orang tuaku untuk membiayai sekolahku, jajanku, aku tak pernah memikirkannya disaat aku masih SMP. Aku hanya memikirkan kesenanganku tanpa memikirkan perjuangan orang tuaku. Namun aku juga tau batasan, karena nasihat-nasihatnya aku bisa mengontrol pengeluaranku, meskipun pengeluaranku berbeda dari teman-temanku.
Mendekati hari yang suci yaitu Hari Raya Idl Fitri, aku dan keluargaku selalu mengunjungi rumah nenek. Di sana banyak saudara-saudara dari ibuku. Anehnya, ketika ada acara masak-memasak yang selalu berada di dapur adalah ibuku. Adik-adik ibuku tak peduli dengannya, mereka merasa iba tanpa turun tangan. Terkadang aku juga kasihan lihat ibuku yang selalu sabar dalam menghadapi hidup. Ibuku pernah bercerita, beliau waktu kecil harus usaha sendiri dalam membiayai sekolahnya, sedangkan adik-adiknya mendapatkan bantuan dari orang tua ibuku. Namun ibuku tidak mengeluh, beliau malah menerimanya karena beliau sebagai anak pertama. Aku benar-benar sedih jika harus berkumpul dengan saudara-saudara ibuku karena yang bekerja hanya ibuku.
Melihat kondisi seperti itu, aku benar-benar mensyukuri mempunyai seorang ibu yang sangat sabar. Aku ingin meniru sifatnya namun terkadang ada rasa egoku yang tak bisa sama seperti apa yang dilakukan ibu. Ibuku juga tak pernah mengeluh akan perlakuan saudara-saudaranya yang seperti itu. Beliau hanya tersenyum menjalani semua kegiatannya. Sungguh betapa mulia hatinya.
Saat di rumah, ibuku memiliki menantu yang agak malas. Mereka sudah berumah tangga namun masih saja merepotkan keluargaku. Apalagi anak-anaknya yang selalu dititipkan ke ibuku saat dia bekerja. Iya kalii kalau anak-anaknya tidak nakal-nakal, ini mah nakal, tapi nakalnya nakal anak kecil wajarlah. Beliau tetap sabar dalam merawatnya.
Pengorbanannya juga terlihat saat kakak ketigaku lulus SMA dan mau melanjutkan Kuliah. Awalnya dia tidak ingin kuliah, namun langsung bekerja. Saat perjalanan mencari pekerjaan, dia bertemu dengan orang misterius, dia dinasehatin supaya melanjutkan kuliahnya. Lalu dia pulang ke rumah dan pendaftaran terakhir di Universitas pilihannya adalah lusa. Besoknya dia minta antar ibu untuk mendaftar dan sampai di sana, ijazahnya tertinggal. Ibuku rela balik tanpa tidur mengambilkan ijazahnya. Saat ituibu benar-benar tidak memiliki uang, akhirnya beliau pinjam pada tetangganya. Kakakku sempat membatin “jika aku tidak lolos, aku benar-benar orang yang tak berguna, tak layak jadi anak ibu”. Sesudah ibuku datang membawa ijazah kakakku, kakakku langsung ikut tes. Beberapa bulan, tepat pengumumannya Alhamdulillah dia ketrima. Dia benar-benar bersyukur kepada Tuhan, dan berterimakasih banyak atas pengorbanan sang ibu.
Saat itu juga pernah, ibu rela mencarikan biaya sekolah anak-anaknya. Subhanallah pengorbanannya begitu luar biasa. Aku si bungsu masih berada di SMP, bersamaan dengan kakak terakhirku juga masih di SMP. Saat itu sekolah kami masih membayar karena sekolah kami adalah Sekolah Bertaraf Internasional. Di sisi lain, kakak kedua dan ketigaku menjalankan Sekolah di Universitas ternama di Yogyakarta. Mereka juga memerlukan biaya yang cukup banyak. Apalagi kakak keduaku yang memilih program perawat itu membutuhkan biaya yang lumayan banyak. Dengan gaji yang sering terpotong dengan hutangnya, ibuku tetap ikhlas membiayai anak-anaknya.
Walaupun ibuku tak pernah mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, namun beliau selalu mengambilkan Laporan hasil belajar anak-anaknya juga mendatangi acara perpisahan anak-anaknya meski kadang bergantian dengan Ayah. Ada teman-temanku yang Laporan hasil belajarnya dititipkan ke orang tua lainnya, atau kadang ada yang diambil sendiri. Di sinilah aku bersyukur untuk yang beberapa kalinya karena mempunyai seorang Ibu yang seperti ibuku. Ibuku juga tak pernah memarahi anak-anaknya jika mereka mendapatkan nilai jelek, beliau hanya menasihati supaya belajarnya ditingkatkan. Terkadang juga ada seorang ibu yang menyita barang-barang anaknya ketika sang anak mendapatkan nilai jelek. Namun ibuku berbeda dengan ibu-ibu lainnya.
Saat memasuki masa SMA, ada masa orientasi yaitu masa pengenalan sekolah kepada siswa baru. Aku disuruh membuat barang-barang yang dipakai ketika MOPD. Aku agak kesusahan akhirnya ibuku yang turun tangan. Beliau membuatkanku tas dari kertas yang di jahit dengan menggunakan tangannya sendiri. Jahitannya sangat kuat dan rapi. Namun aku merasa heran, kenapa sih aku tak bisa sepertinya yang pandai menjahit. Aku juga selalu dipuji sang ibu tentang jahitan logo di baju pramukaku. Wah saat itu kepalaku benar-benar mau meledak.
Hari begitu cepat, sampai saat ini aku menginjak kelas 3 SMA. Mendekati hari di mana aku harus bertarung dengan soal-soal. Aku mengikuti bimbingan belajar. Lagi-lagi ibuku harus mengeluarkan banyak uang, ya memang begitu tugas orang tua, membiayai anaknya dan sebagai seorang anak harus berusaha untuk membanggakan ibunya dengan banyak uang yang telah dikeluarkan, seharusnya si anak juga harus memberikan hasil yang terbaik buat orang tuanya.
Menginjak hari pertempuran dengan soal, aku merasa terbebani dengan belajarku, aku sempat tak tidur hanya mengejar materi ujian yang belum aku selesaikan. Ibu menyaraniku supaya cepat tidur, daripada aku sakit dan tidak bisa mengikuti Ujian, lebih baik aku tidur dengan belajarku yang seadanya, hanya bisa di serahkan kepada Tuhan, yang terpenting aku sudah berusaha walaupun belum maksimal.
Beberapa bulan, hasil Ujian pun sudah keluar. Aku merasa tak berguna, aku tidak bisa mendapatkan nilai yang maksimal untuk satu mata pelajaran yang dari SD sampai SMP di mata pelajaran itu nilaiku sempurna, namun saat SMA aku yang sudah mengikuti bimbingan belajarpun nilaiku tidak sempurna. Nilaiku saat itu benar-benar hancur. Aku menangisi hasilku. Namun ibu selalu menenangkan pikiranku. Beliau tak pernah menyesal mengeluarkan banyak uang untuk anaknya.
Di sisi lain pengumuman SNMPTN, saat itu aku mengambil pilihan yang tidak aku rundingin dahulu kepada orang tua. Aku benar-benar bodoh dan akhirnya hasilnya NOL. Aku gagal dalam SNMPTN. Saat itu esoknya perpisahan kelas 3 SMA. Aku menangis memeluk ibu saat mengingat kejadian yang gagal dalam SNMPTN. Aku harus berusaha lagi di SBMPTN.
“Bukan hanya kamu, Nak. Teman-temanmu juga banyak yang gagal, gak usahlah ditangisi ataupun disesali, semua orang sudah diatur rejekinya oleh Allah”, kata ibuku sambil mengelus-elus kepalaku.
Aku mengikuti tes masuk ke Perguruan Tinggi, dari SBMPTN, Ujian Mandiri dan tes masuk ke Kedinasan, semuanya aku coba satu per satu. Ibuku sudah banyak mengeluarkan uang untuk membiayaiku menjalani tes masuk perguruan tinggi namun hasilnya sangat-sangat mengecewakan. Aku terkadang merasa bersalah dengan orang tuaku terutama ibu yang selalu mendukungku agar aku bisa namun kenyataannya aku belum bisa bahagiain sang ibu. Aku merasa benar-benar kecewa saat itu. Keadaanku benar-benar hancur. Namun selalu ada ibu yang menyemangatiku.
Terakhir, aku mencari Universitas swasta di Yogyakarta. Dari mau berangkat, aku diantar ibu ke terminal walaupun harus jalan kaki. Itu pertama kali aku diantar ke terminal. Di kekecewaanku aku masih bisa bersyukur. Aku benar-benar bahagia, walaupun ada sedikit kekecewaan dalam hatiku. Akhirnya aku sampai Yogyakarta aku langsung mendaftar dan Alhamdulillah aku bisa mendapatkan Universitas.
Di sini aku mulai berpikir lagi, biaya Universitas di swasta berbeda jauh dengan Universitas negeri. Lagi-lagi aku menyusahan Ibu dengan masalah biaya. Sungguh aku benar-benar merasa bersalah. Namun aku harus tetap semangat untuk menukar pengorbanan ibu yang telah memberikan biaya yang sangat banyak. Aku harus maksimal di dalam belajarku di Universitas ini.
Aku benar-benar bersyukur lahir dari seorang wanita yang sangat hebat. Rasa syukurpun aku panjatkan terus-menerus. Aku selalu berdoa agar kedua orang tuaku terutama ibu selalu diberi kesehatan dan kelancaran rezeki. Ucapan terimakasih tak sebanding dengan pengorbanan seorang ibu.
Minggu, 18 Juni 2017
Wanita Terhebat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar